Sudah bukan lagi dalam hitungan sejam, sehari ataupun sepekan. Ini sudah menjadi hitungan bulan juga tahun. Sudah dua tahun sebelas bulan. Yang tinggal hanya bayangan samar yang semakin menghilang, pada hati yang masih terdapat luka yang menganga, pada cinta yang entah diartikan apa?. Ia tetap berada pada satu masa di mana serpihan hati yang tak lagi utuh.
"Katanya takkan lagi mengingatnya barang sekejap, kenapa nyatanya kau tetap saja terlena dalam bias-bias masa lalumu yang seharusnya sudah kau buang jauh, sudah kau musnahkan tanpa sisa sedikit pun", cerocos Mutia tanpa berasa ada titik koma dalam ucapannya saat masuk ke kamar Lingga dengan membawa dua cangkir teh hangat di tangannya.
Lingga sedang duduk di sudut jendela kamar kos nya yang menghadap matahari senja. Sebentar lagi malam akan menyapa. Burung-burung terlihat berterbangan kembali ke sarang.
"Maksudnya?", tanya Lingga yang berlagak tidak mengerti dengan ucapan Mutia yang tiba-tiba saja. Padahal otak Lingha akan langsung mengerti meskipun tanpa diajari ketika Mutia sudah membawa-bawa kata cinta-masa lalu-lupakan.
"Sudahlah Mutia ku sayaaaang... Kau tak perlu berdusta untuk kisahmu yang satu ini. Lupakan semua tanpa tersisa. Titik." Lanjut Mutia yang sepertinya sudah sangat hapal dengan gelagat Lingga ketika ia mulai berkutbah.
Harinya selalu saja kelabu meski ragam warna pelangi mencoba mengisi pada celah ruang tanpa warna itu. Semangatnya tak lagi sama. Cerianya tak terasa bahagia, hambar seperti sayur tanpa garam. Tidak enak. Tidak sedap.
Sejak Lingga melepaskan cintanya, Ia seperti ikut melepaskan jiwa dari raganya. Kini yang tersisa hanya raga tak bernyawa.
"Apa lagi yang kau harapkan dari dia, Lingga?" Tanya Mutia yang tak pernah mau menyebut nama laki-laki yang telah menyakiti perasaan sahabatnya yang satu ini.
"D-e-w-a", eja Lingga sedikit terbata.
"Arrgghh..tak perlu kau sebutkan namanya. Pusarakan dia bagai batu nisan tak bertuan", geram Mutia sambil menyeruput teh yang masih hangat dan menggigit buskuit gula.
"D-e-w-a", eja Lingga sedikit terbata.
"Arrgghh..tak perlu kau sebutkan namanya. Pusarakan dia bagai batu nisan tak bertuan", geram Mutia sambil menyeruput teh yang masih hangat dan menggigit buskuit gula.
"Cukup Lingga....kau telah buta oleh cinta yang tak semestinya", Mutia menghampiri sahabatnya yang hanya diam menikmati jingga yang semakin memudar.
"Aku sudah melupakannya, sungguh", pembelaan Lingga seketika menolehkan wajah manisnya dan mengambil cangkir teh yang ada di dekatnya lalu kembali menatap senja tanpa kata.
Seringkali kalau Lingga tak sedang berada pada saat sibuknya bekerja, kuliah, atau mengikuti banyak kegiatan lainnya Ia menjadi gadis pemurung, kerjanya hanya menatap ke jendela malah pernah didapati air matanya mengalir dari sudut kedua matanya. Laki-laki itu adalah cinta pertama Lingga. Terlalu besar harapan yang telah digantungkan padanya. Sebuah rencana indah telah ia hadirkan dalam kisahnya. Namun cinta tak memihak mereka berdua entah karena alasan apa? Tak ada kabar berita, tetiba hilang begitu saja seperti ditelan bumi. Ketulusan Lingga tak lagi berharga. Tentang segala pengorbanan menguap hilang ke angkasa. Harapan hampa setelah ia menunggu sekian lama. Kini Lingga hanya butuh satu kata, rela.
"Yakinkan aku Tuhan dia bukan milikku, biarlah waktu...waktu..hapus aku" suara ringtone handphone Lingga membuyarkan segala lamunannya.
"Halo...Dewa"
No comments:
Post a Comment